Keluarga Gideon - Bagian 2

Oleh : Pdt.Djohan Kusnadi

Gideon ternyata bukan hanya seorang yang begitu berani karena imannya, ia juga seorang yang sangat bijaksana. Kebijaksanaan Gideon dapat terlihat jelas ketika suku Efraim yang merasa diri hebat dan terbesar saat itu merasa dilangkahi oleh Gideon karena mereka sama sekali tidak dilibatkan dalam peperangan yang besar dan bersejarah ini. Mereka marah dan menyampaikan protes keras, dalam hal ini kepada Gideon, setelah kemenangan yang baru saja diraih.

Saya tidak yakin kalau Gideon dan ke-300 pasukannya kalah total suku Efraim akan tetap protes. Kemungkinan besar mereka akan mensyukuri hal itu karena mereka tidak dilibatkan. Namun menanggapi kritikan karena kesombongan diri mereka ini, maka dengan kerendahan hati Gideon menjawab bahwa kemenangan Gideon dan pasukan hanyalah panen kecil dari kaum Abiezer yang tidak ada bandingnya dibandingkan dengan panen susulan suku Efraim. Gideon memuji bahwa suku Efraimlah yang menentukan kemenangan besar itu karena bukan hanya menumpas habis seluruh pasukan musuh, mereka juga berhasil menangkap dan memengal kepala kedua raja Midian. Inilah kemenangan terbesar bangsa Israel melalui suku Efraim, puji Gideon. Hasil pujian Gideon ini sangatlah efektif meredakan kemarahan suku Efraim.

Di tengah-tengah segala kelebihan dan kesuksesan Gideon, rupanya ada beberapa kelemahan Gideon yang perlu diwaspadai agar tidak terulang dalam diri, keluarga, dan pelayanan, dan karir kita. Kelemahan Gideon adalah:

Satu, ia tidak sepenuhnya melakukan apa yang Tuhan perintahkan. Ada kecenderungan ia suka berjalan sendiri mengikuti kemauannya yaitu: ia bersama ke-300 pasukannya mengejar sisa pasukan Midian yang dipimpin Zebah dan Salmuna padahal Tuhan tidak menyuruhnya untuk melakukan hal itu.  Gideon melakukan hal itu karena saudara-saudaranya telah dibunuh sebelumnya oleh kedua raja itu beserta dengan pasukannya. Ini semua dilakukan Gideon demi untuk pembalasan rasa dendamnya.

Gideon juga berjalan sendiri tanpa meminta persetujuan dari Tuhan ketika orang Israel memintanya untuk memerintah atas mereka. Saat itu ia berkata dengan bijaksana bahwa hanya Tuhanlah yang memerintah atas mereka. Namun, Gideon menyuruh bangsa Israel untuk mengumpulkan segala emas dari hasil rampasan mereka terhadap musuh dan segala perhiasan berharga lainnya. Hasilnya terkumpul 1700 syikal emas yang setara dengan 19.380-gram atau hampir 20 kg emas. Emas itu lalu dibuatkan efod yaitu sebagai bentuk berhala yang difungsikan sebagai mantra. Akibat ulahnya Gideon ini, orang Israel kembali menyimpang dari Tuhan dan mereka jatuh kedalam penyembahan efod ini.

Dua, Gideon hidup berpoligami karena ia beristri banyak sehingga ia mempunyai keluarga terbesar saat itu dalam sejarah Israel dimana ia memiliki 70 anak laki-laki dari istri-istrinya. Ini belum terhitung anak-anak perempuannya. Alkitab tidak mencatat berapa jumlah istrinya. Namun jumlah ini terbesar sebelum raja Salomo. Kelihatannya ini sangat indah karena itu bisa memperbesar kondisi kaumnya yang terkecil menjadi besar, sukunya dan bangsanya. Namun ini bisa juga sebagai sumber malapetaka bila tidak diatur dan dikelola dengan hati-hati dan bijaksana.

Ada kemungkinan Gideon mencontoh Abraham yang beristri 3 ataupun Yakub yang beristri 4 (termasuk gundiknya).  Agar lebih besar dari Abraham dan Yakub, iapun beristri jauh lebih banyak lagi agar bisa lebih hebat lagi melampaui Abraham dan Yakub. Konsep poligami selalu mendatangkan lebih banyak keburukan, masalah, penderitaan dari pada kebaikan, keuntungan ataupun kebahagiaan. Tuhan Allah sudah jelas hanya memberikan 1 Hawa (istri) kepada Adam. Tuhan Yesus juga mengajarkan konsep monogami demikian juga para Rasul. Biarlah konsep itu tetap dijunjung tinggi selama-lamanya demi kemuliaan Tuhan, demi melihat betapa indahnya hidup ini dan demi hidup yang menjadi berkat bagi orang lain.

Tiga, Gideon tidak memimpin keluarganya dengan baik. Sama seperti Musa yang adalah pemimpin yang baik bagi bangsanya namun tidak bagi keluarganya, demikian pula dengan Gideon. Gideon tidak memiliki strategi untuk keluarganya bahkan siapa yang kelak akan menggantikan kedudukannya. Walaupun bila seorang ayah sudah menetapkan siapa calon penggantinya itupun masih bisa dikudeta bila ada anak laki-laki yang merasa cukup kuat, punya banyak dukungan, dan berambisi besar. Apalagi tidak diberi tahu siapa generasi penerusnya.

Itu yang dialami oleh Abimelekh, anak laki-laki dari gundiknya (Hak. 8:31). Walaupun ia sadar bahwa ia hanyalah seorang anak budak karena ia adalah anak dari seorang gundik yang jauh lebih rendah derajatnya dari istri-istri resmi ayahnya. Namun berbekal ambisi yang besar, nafsu yang serakah dan lagi arti dari nama diri Abimelekh yaitu ayahku adalah raja. Maka baginya setelah ayahku, akulah yang menjadi raja. Maka setelah Gideon meninggal, Abimelekh menyuruh membunuh seluruh putra Gideon dan jangan biarkan satupun yang tersisa.  Betapa jahat, dan sadis perbuatan anak sang gundik ini. Walaupun demikian Tuhan mengizinkan satu dari putra Gideon berhasil selamat dari genosida Abimelekh ini.

Atas kejahatan Abimelekh kepada putra-putra Gideon itu maka Tuhan membalaskan semua kejahatan Abimelekh yang telah diucapkan oleh Yotam, salah seorang putra Gideon yang berhasil lolos. Penduduk Sikhem yang tadinya mendukung Abimelekh mulai tidak setia dan terjadilah pemberontakan. Ketika Abimelekh datang untuk menumpas justru dalam keadaan terpojok para pemberontak berhasil membunuh raja Abimelekh melalui perbuatan seorang gadis yang berhasil menimpakan batu kilangan dan itu memecahkan kepala Abimeleh yang mengakibatkan kematiannya. Walaupun Abimelekh dalam kondisi sekarat, meminta bujangnya menikam dirinya sehingga mati (Hak. 9:53-54). Sungguh ini suatu kisah yang sangat tragis bagi keturunan Gideon. Kesuksesan sang ayah namun sayang berakhir dengan malapetaka yang menimpa seluruh anak-anaknya. Begitu banyak linangan air mata dan darah yang tercurah bagi kehidupan anak-anaknya.

Itulah sebabnya Paulus menasehatkan kita melalui Timotius untuk memilih pemimpin dengan syarat sebagai berikut: seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang, seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus JemaatAllah? (I Tim. 3:2-5)

Pemimpin haruslah teruji dalam kehidupan rumah tangganya. Bila ia berhasil menjadi suami yang baik, kepada keluarga yang disegani dan dihormati oleh anak-anaknya barulah ia layak menerima jabatan pemimpin yang lebih besar lagi bahkan menjadi pemimpin bangsa. Hal ini untuk mencegah kerusakan yang berakibat penderitaan dan malapetaka bagi orang-orang yang dipimpinnya maupun bagi keluarganya sendiri. Untuk itu bagi para pria sudahkah kita menjadi kepala keluarga yang baik?

Previous
Previous

Ketaatan Orang Percaya

Next
Next

Tetap Bisa Melayani