Keluarga Samuel (Bagian II)

Oleh : Pdt Djohan Kusnadi

Tiga, Samuel diberikan jabatan Nabi (I Sam. 3:20). Jabatan Nabi Tuhan sungguh jabatan yang luar biasa dan Samuel adalah orang ke tiga setelah Musa dan Debora (Hak 4:4).

Alasan Tuhan memilih Samuel karena ia merupakan bejana yang siap dipakai, keberadaan para pemimpin yang tidak berkenan di hadapan Tuhan, dan juga karena kemerosotan rohani diantara umat Allah. Allah memanggil Samuel untuk memberitakan FirmanNya (I Sam 3:19-21) serta memberikan teladan kesetiaan pada kehendak Allah. Samuel juga diutus untuk memimpin bangsa Israel kepada pertobatan dan pelepasan dari penjajahan bangsa Filistin (I Sam 7:3) serta bertindak sebagai perantara diantara Allah dengan umat-Nya (I Sam 7:8-9).

Samuelpun memiliki kelompok para-Nabi di bawah kepemimpinannya yang disebut rombongan Nabi-nabi di kota Rama (I Sam19:20) dimana tugas Samuel adalah membina dan membantu perkembangan untuk memahami dan mengenal kehendak Allah bagi Israel.

Mereka kelak akan diutus Samuel untuk membina bangsa Israel sehingga mendatangkan pembaruan rohani serta penyadaran mereka akan perjanjian Allah bagi Israel bahkan mereka bisa memahami kehendak Allah dalam diri mereka dan bangsanya.

Empat, Samuel sebagai Hakim (I Sam 7:15). Ini hal yang luar biasa karena Samuel memiliki jabatan Nabi (pemimpin rohani bagi bangsa Israel saat itu sekaligus juga sebagai seorang Hakim yang adalah pemimpin bangsa Israel. Alkitab mengatakan Samuel menjadi hakim seumur hidupnya. Samuel diperkirakan melebihi pendahulunya yang juga memerintah sebagai hakim selama 40 tahun. Sedangkan Samuel berhasil mencapai 47 tahun ketika ia meninggal (I Sam 25:1). Samuel adalah salah seorang pemimpin bangsa Israel yang paling setia dan paling banyak melakukan pekerjaan Tuhan di zamannya. Samuel memiliki reputasi besar yang bisa disejajarkan dengan Musa.

Samuel yang luar biasa ini apakah ia memiliki kekurangannya? Alkitab tidak menemukan kekurangannya selain dalam hal anak- anaknya. Samuel rupanya tidak mampu mendelegasikan tugas kenabiannya kepada anak-anaknya sesuai dengan keinginan hati rakyatnya. Ini akibat karakter anaknya sangat bertentangan sekali dengan karakter Samuel khusunya dalam mengejar laba, menerima suap, dan memutar balikan keadilan (I Sam 8:3). Anak-anak Samuel ditolak untuk memegang jabatan Hakim oleh bangsanya sendiri dan Tuhan sepertinya setuju dalam hal ini. Tuhan sama sekali tidak membela status anak-anak Samuel yang ditolak oleh bangsa Israel. Tentu hal ini menimbulkan kepedihan dalam hati Samuel karena ia merasakan air susu dibalas dengan air tuba. Ia yang sudah habis-habisan bekerja dan melayani bangsanya namun akhirnya anak-anaknya tidak bisa diterima oleh rakyat.

Yang menjadi pertanyaan bukankah pohon yang baik pastilah menghasilkan buah yang baik? Mengapa itu tidak terjadi kepada Samuel dan juga kepada Musa? Dari kisah sini tentu kita melihat perihal yang sama dalam kehidupan banyak hamba-hamba Tuhan ternama. Betapa banyak hamba-hamba Tuhan yang hebat dipakai Tuhan tetapi anak-anaknya tidak hidup seperti ayahnya. Bahkan ada anak yang menjadi lawan dari ayahnya sendiri. Anak-anak pendeta banyak yang berteriak bahwa ayahnya seorang gembala bagi jemaat namun bukan bagi keluarganya sendiri. Ayahnya lebih mementingkan jemaat dari pada anak-anaknya sehingga anak-anaknya ada yang menjadi ateis, anti-sosial, membunuh diri dan seterusnya.

Ini kembali bisa disimpulkan adanya ketidakseimbangan antara karir pelayanan dengan kepentingan keluarga. Bila keseimbangan itu menjadi rusak maka hasilnya seperti keluarga Samuel, keluarga Musa, dan keluarga pendeta lainnya.

Sayang sekali Samuel tidak menceritakan sedikitpun tentang istrinya apalagi peranan sang istri dalam karir dan membesarkan anak-anak mereka. Namun ada satu yang terjadi anak-anaknya hidup berseberangan dengan karakter ayahnya yang sungguh menjadi berkat dan teladan bagi bangsa Israel.

Ada sisi kesamaan antara Samuel dengan Musa. Selain mereka tergolong sebagai nabi-nabi besar bangsa Israel, nabi-nabi Tuhan yang paling setia dan paling dipakai Tuhan secara luar biasa. Juga keluarga mereka sama-sama bermasalah. Namun ada satu kesamaan yang ingin saya soroti yaitu mereka sama- sama tidak dibesarkan oleh orang tuanya.

Samuel sejak usia tiga tahun diserahkan ke Bait Suci sehingga setiap harinya ia tidak bersama dengan orang tuanya.

Walaupun orang tuanya datang beberapa kali dalam setahun namun kebanyakan hidupnya tidak selalu bersama orang tuanya. Demikian pula dengan Musa sejak masih bayi, ia sudah ditaruh di atas sungai Nil dan akhirnya dipungut menjadi anak Putri Firaun. Walau ibunya datang sebagai pengasuh namun tidak sepenuh hari karena tidak mungkin ibunya tinggal di dalam istana Firaun. Itu berarti pengaruh dan kasih sayang orang tuanya sangatlah terbatas dalam pertumbuhan dirinya

sejak dari masa bayi.

Kondisi anak yang dibesarkan tidak langsung oleh orang tuanya selalu membuat anak itu kelak melakukan hal yang sama kepada keturunan-keturunannya. Ia terasa cuek, kurang antusias akan kebutuhan anak-anaknya sendiri karena pengalamannya masa kecil yang harus berjuang di lingkungan orang lain. Akibatnya anak itu kelak akan membentuk keluarga yang kurang harmonis dan anak-anak yang bermasalah.

Kita perlu berhati-hati bila ingin lebih mensukseskan masa depan anak dengan mengirimnya sekolah di luar kota atau luar negeri apalagi anak itu masih SD atau lebih muda lagi. Atau kita ingin anak kita bisa lebih bahagia hidupnya dengan menitipkan anak kandung kita kepada paman/ bibinya yang lebih kaya dan tinggal di kota besar atau dititipkan di tempat kost atau asrama yang bisa dipercaya keamanan dan kejujurannya. Pemikiran ini tentu sama sekali tidak bijaksana karena hasilnya akan menjadi tidak seperti yang diharapkan oleh orang tuanya.

Kebutuhan mendasar seorang anak adalah kehangatan kasih sayang, perhatian dan teladan orang tuanya. Seorang anak yang dibesarkan dengan kasih sayang dan teladan yang yang bail dari orang tuanya merupakan modal besaar untuk kesuksesan anak itu kelak. Seorang anak boleh disekolahkan di luar negeri bila ia sudah minimal 18 tahun karena ia sudah bisa dianggap dewasa untuk mandiri. Namun lebih baik lagi bila ia tetap ingin tinggal bersama orang tuanya sampai ia lebih mapan.

Tugas kita adalah terus mendoakan, membimbing dan memberikan resources yang cukup agar ia bisa terbang tinggi meraih cita-cita yang agung, bisa memiliki pasangan yang ideal di mata Tuhan serta membentuk generasi selanjutnya yang penuh berkat Tuhan.

Namun di sisi lain ada kalanya anak kita terlampau dimanja dan merasa sangat nyaman di rumah sehingga ia kurang giat bekerja untuk mengejar hari esok yang lebih indah. Ia tidak mau bekerja penuh waktu karena ia merasa itu cukup untuk uang sakunya setiap minggu, tidak mau menuntut dirinya agar lebih maju seperti mengambil kursus/ ketrampilan, masih terus bergantung kepada orang tua untuk kebutuhan sandang pangan dan papannya maka untuk anak seperti itu harus diberikan efek kejut yaitu harus ‘diusir’ keluar dari rumah agar ia bisa lekas mandiri dan tentu ia diberi nasihat dan peringatan misalkan 2 tahun lagi kamu harus siap mandiri.

Lalu diberi warning lagi bila tinggal setengah tahun lagi agar ia lebih cepat mengejar masa depannya. Namun bila ia ternyata masih tidak sanggup walau sudah sangat berjuang dan berjerih payah karena ia memiliki kekurangan atau kelainan yang mengganggu produktivitasnya maka tentu saja rumah kita senantiasa tetap terbuka bagi dirinya untuk berlindung sambil terus memperbaiki dan membenahi dirinya menatap hari esok yang penuh harapan.

Tugas kita adalah terus mendoakan, membimbing, memberikan harapan, motivasi dan semangat agar ia terus sedikit demi sedikit mampu meningkatkan dirinya untuk terus lebih baik dan lebih baik lagi.

Previous
Previous

Pelangi-Ku di Awan

Next
Next

Sufficient Grace